Ketentuan hukum mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dapat dan yang tidak dapat dikreditkan diatur di dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN). Dalam rangka untuk meyakinkan bahwa Pajak Masukan yang dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) Pembeli telah disetor dan dilaporkan oleh PKP Penjual, Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disebut Ditjen Pajak) dalam Surat Edaran (SE)-nya akan melakukan prosedur konfirmasi atau klarifikasi. Apabila dari hasil konfirmasi tersebut diketahui bahwa PKP Penjual tidak melaporkan PPN yang telah dipungutnya (Pajak Keluaran) dari PKP Pembeli maka PPN yang telah dibayar (Pajak Masukan) oleh PKP Pembeli tidak dapat dikreditkan. Jadi, persyaratan yang ditetapkan oleh Ditjen Pajak tentang Pajak Masukan apakah dapat atau tidak dapat dikreditkan dikaitkan dengan Pajak Keluaran-nya apakah sudah disetor atau belum oleh PKP Penjual.
Di saat teknologi informasi yang semakin berkembang dalam membantu administrasi pajak modern seperti e-register, e-filing, e-identity (Single Identity Number), online monitoring payment system, e-mail account petugas pajak, Ditjen Pajak dalam melakukan konfirmasi Pajak Masukan masih menggunakan cara manual yaitu melalui surat menyurat. Tidak dipergunakannya konfirmasi Pajak Masukan secara elektronik oleh Ditjen Pajak karena alasan data Pajak Masukan yang terekam tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya karena sering terlambat direkam. Walaupun Ditjen Pajak sudah menerbitkan SE Nomor 10/PJ.52/2006 yang memberikan sanksi atas keterlambatan perekaman data Pajak Keluaran-Pajak Masukan, tetapi dalam praktik keterlambatan perekaman data masih saja sering terjadi, padahal jumlah PKP yang diawasi “hanya” 580.000 pengusaha (Bisnis Indonesia, 28 Februari 2006).
Di lain pihak, Pengadilan Pajak seperti dapat dilihat dalam putusannya yaitu PUT 02227/PP/M.III/16/2004 memperbolehkan PKP Pembeli untuk tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukan-nya walaupun hasil konfirmasi diketahui bahwa Pajak Keluaran-nya tidak dilaporkan oleh PKP Penjual atau dengan kata lain hasil konfirmasi dinyatakan “tidak ada” sepanjang dapat dibuktikan melalui suatu prosedur alternatif (arus barang dan arus uang) PKP Pembeli telah dipungut PPN oleh PKP Penjual.
Kasus di Inggris
Bagaimana dengan tentang persyaratan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan terkait dengan Pajak keluaran-nya tidak disetor oleh PKP Penjual di negara lain? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat disimak kasus Optigen Ltd (C-354/03), Fulcrum Electronics Ltd (C-355/03), Bond House Systems Ltd (C-484/03).
Optigen, Fulcrum, dan Bond House adalah perusahaan (PKP) yang melakukan kegiatan perdagangan. Dalam suatu tahun, perusahaan tersebut membeli komputer dari perusahaan yang didirikan di Inggris untuk kemudian diekspor ke negara lainnya. Ketiga perusahaan tersebut membayar PPN atas pembelian komputer. Oleh karena komputer tersebut diekspor ke negara lain, maka ketiga perusahaan tersebut mengajukan permohonan restitusi atas Pajak Masukan yang telah mereka bayar. Berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata Pajak Masukan yang telah dibayarkan oleh ketiga perusahaan tersebut tidak disetorkan ke kas negara oleh perusahaan yang menjual komputer (PKP Penjual). Berdasarkan hasil temuan tersebut, maka permohonan restitusi ketiga perusahaan tersebut ditolak oleh Otoritas Pajak di Inggris (Commissioners) karena telah terjadi Carousel Fraud.
Atas putusan tersebut Optigen dan Fulcrum mengajukan banding ke VAT and Duties Tribunal, London dan Bond House ke VAT & Duties Tribunal, Manchester. Akan tetapi, putusan dari kedua pengadilan tersebut menyatakan bahwa putusan Commissioners sudah benar. Argumentasi yang diberikan oleh pengadilan tersebut bahwa ketiga perusahaan tersebut tidak dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayarkan karena perusahaan komputer (PKP Penjual) melakukan kecurangan yaitu tidak menyetorkan PPN yang telah ia pungut dari ketiga perusahaan tersebut, walaupun ketiga perusahaan yang membeli komputer tersebut (PKP Pembeli) tidak mengetahui atau tidak terlibat dalam kecurangan tersebut.
Atas putusan tersebut, Optigen, Fulcrum, dan Bond House mengajukan banding ke High Court of Justice of England and Wales, Chancery Division. Putusan yang diterbitkan adalah hak PKP Pembeli untuk mengkreditkan Pajak Masukan tidak boleh dikaitkan dengan kecurangan yang dilakukan oleh PKP Penjual yang tidak menyetorkan PPN yang telah dipungutnya ke kas negara karena PKP Pembeli tidak terlibat atas kecurangan tersebut.
Kesimpulan
PPN adalah merupakan pajak tidak langsung. Dengan demikian, dari sisi yuridis formal membawa konsekuensi logis bahwa apabila PKP Pembeli telah dipotong PPN-nya oleh PKP Penjual maka pada dasarnya sama dengan telah membayar PPN tersebut ke kas negara. Oleh karena itu, jika PKP Penjual tidak menyetorkan PPN yang telah ia pungut, maka Otoritas Pajak seharusnya meminta pertanggungjawaban kepada PKP Penjual dan bukan PKP Pembeli. Dengan kata lain, sepanjang Wajib Pajak telah dipungut PPN-nya oleh PKP Penjual maka hak Wajib Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan-nya seharusnya tidak dikaitkan dengan ada atau tidak ada-nya jawaban konfirmasi.